Senin, 14 November 2011

PERKEMBANGAN PENGGUNAAN NUKLIR UNTUK ILMU KEDOKTERAN


 
           Kedokteran Nuklir adalah cabang ilmu kedokteran yang menggunakan sumber radiasi terbuka yang berasal dari disintegrasi inti radionuklida buatan (radiasi pengion) untuk mempelajari perubahan anatomi, fisiologi, metabolik dan molekuler dari tubuh manusia dengan tujuan diagnostik, terapi dan penelitian bidang kedokteran.  Berbagai teknologi dan prosedur yang meliputi kedokteran nuklir sekarang sangat penting dalam mendiagnosis kanker, penyakit kardiovaskular, dan gangguan neurologis tertentu, serta mengobati beberapa jenis kanker. Riset yang mendalam serta perkembangan teknologi  yang mendukung selama 50 tahun oleh para peneliti amerika telah membuahkan banyak aplikasi kedokteran nuklir yang memajukan dunia kesehatan secara signifikan hingga sekarang. Perkembangan ilmu kedokteran nuklir yang sangat pesat tersebut dimungkinkan berkat dukungan dari perkembangan teknologi instrumentasi untuk pembuatan citra terutama dengan digunakannya komputer untuk pengolahan data sehingga sistem instrumentasi yang dahulu hanya menggunakan detektor radiasi biasa dengan sistem elektronik yang sederhana, kini telah berkembang menjadi peralatan canggih kamera gamma dan kamera positron yang dapat menampilkan citra alat tubuh, baik dua dimensi maupun tiga dimensi serta statik maupun dinamik.

Dewasa ini, aplikasi tenaga nuklir dalam bidang kesehatan telah memberikan sumbangan yang sangat berharga dalam menegakkan diagnosis maupun terapi berbagai jenis penyakit. Berbagai disiplin ilmu kedokteran seperti ilmu penyakit dalam, ilmu penyakit syaraf, ilmu penyakit jantung, dan sebagainya telah mengambil manfaat dari teknik nuklir ini. Teknologi yang sudah canggih dan penanganan yang baik meningkatkan angka keselamatan para penderita penyakit dalam khususnya para penderita kanker pada umumnya di dunia.

Sejarah Penggunaan Nuklir Pada bidang medis
Dimulai pada tahun 1901 dari seorang ahli fisika perancis dan juga dermatologist Henri Danlos menggunakan isotop radioaktif dalam biologi dan kedokteran. Beliau menggunakan radium untuk pengobatan penyakit tuberculosis pada kulit, namun  penerapan teknik perunut dengan menggunakan radioisotop dalam biologi dan kedokteran dipelopori oleh George de Hevesy pada tahun 1920an , sehingga beliau di nobatkan sebgagai bapak ilmu kedokteran nuklir.  waktu itu digunakan radioisotop alamiah. Dalam
perkembangan selanjutnya digunakan radioisotop buatan.
            Seorang ahli kimia berkebangsaan Hongaria, George Hevesy, pada tahun 1923 mengukur distribusi timbal (Pb) radioaktif  dengan jalan memasukkan Pb-210 dan Pb-212 pada batang dan akar kacang dalam jumlah yang tidak menimbulkan efek toksik  pada tanaman. Pada tahun 1924, dipelajari distribusi Pb dan  Bismut (Bi) pada hewan percobaan. ini merupakan langkah  pertama penggunaan perunut untuk penelitian biomedik, sehingga pada tahun 1943 George Hevesy mendapat hadiah Nobel  di bidang Kimia. Radionuklida pertama yang digunakan secara  luas dalam kedokteran nuklir adalah I-131, yang ditemukan oleh  Glenn Seaborg pada tahun 1937. Pertama kali I-131 digunakan  sebagai indikator fungsi kelenjar tiroid dengan jalan mendeteksi  sinar yang diemisikan, dengan pencacah Geiger yang ditempatkan di dekat kelenjar tiroid. Diikuti dengan pemakaiannya untuk pengobatan hipertiroid pada tahun 1940. Penemuan Seaborg berikutnya yaitu radionuklida Tc-99m dan Co-60, yang merupakan tonggak sejarah di bidang Kedokteran Nuklir. Berkat jasanya tersebut, Seaborg mendapat hadiah Nobel untuk bidang Kimia pada tahun 1951. Pada periode berikutnya, kedokteran nuklir berkembang pesat setelah ditemukan kamera gamma oleh Hal Anger pada tahun 1958. Alat tersebut mampu mendeteksi distribusi foton yang dipancarkan dari dalam tubuh, yang dapat menggambarkan fungsi suatu organ. Metode ini disebut imaging nuklir, yang digunakan untuk diagnosis in vivo.

Momentum Ke Emasan Penggunaan Nuklir Untuk Ilmu Kedokteran
Frédéric Joliot-Curie dan Irène Joliot-Curie pada tahun 1934. Mengawali masa Keemasan perkembangan kedokteran nuklir dengan menemukan radionuklida buatan Pada bulan Februari 1934, bahan radioaktiv buatan yang pertama in di publikasikan dalam jurnal Nature. Penemuan mereka diilhami hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wilhelm Konrad Roentgen tentang  X-ray, Henri Becquerel tentang garam radioaktif uranium, dan Marie Curie (ibu Irene Curie) tentang thorium radioaktif, polonium serta pengaruh penggunaan koin dalam radioaktivitas. Tim Joliot-Curie membuat penemuan monumentalnya pada 1934 saat mereka memproduksi unsur radioaktif buatan pertama. Penemuan ini membuat tim Joliot-Curie memenangkan Hadiah Nobel Kimia 1935 "untuk sintesis mereka pada unsur radioaktif baru". Sumbangan Joliot-Curie amat penting bagi kemajuan fisika nuklir dan memberi sumbangan bagi bom atom pertama.
Penemuan ini diilhami dengan Kehadiran gaya tolak listrik antara proton dan pendeknya jangkauan gaya inti yang menyebabkan inti dengan nomor atom dan nomor massa tinggi menjadi tak stabil. Bila mengalami gangguan, strukturnya berubah dengan memancarkan sinar radioaktif: alfa (inti helium), beta (elektron), dan gamma (sinar-X yang lebih kuat). Inilah yang memungkinkan transmutasi inti buatan untuk menghasilkan unsur baru.  Kesulitan menggunakan partikel bermuatan listrik (partikel alfa dan proton) untuk transmutasi inti atom berat, akibat tolakan gaya listrik, mengalihkan perhatian para fisikawan pada partikel neutron yang sama sekali bebas dari pengaruh gaya listrik. Sayang, jumlah neutron yang dipancarkan unsur-unsur radioaktif alam amat sedikit. Partikel alfa dari 1 gram radium hanya mampu menendang keluar sekitar 10 juta buah neutron per detik dari pelat berilium. Walau berkas neutron ini mampu menembus inti atom berat, jumlahnya masih sangat sedikit daripada yang dibutuhkan.
 Dalam upaya meningkatkan jumlah neutron ini, fisikawan Frederic dan Irene Joliot-Curie, dari Paris, di tahun 1934 memberi sumbangan berarti dengan menggunakan sumber polonium, yang lebih aktif dari radium. Pancaran berkas partikel alfa yang sangat kuat dari sumber polonium ini kemudian mereka tembakkan pada berbagai bahan-seperti boron, alumunium, magnesium-dengan harapan jumlah neutron yang dihasilkan akan meningkat.  Ketika mengarahkan seberkas neutron, hasil tembakan partikel alfa pada selembar lempengan alumunium, ke dalam detektor "kamar-kabut Wilson", mereka mengamati kehadiran sejumlah jejak yang ditinggalkan partikel-partikel ringan yang sama beratnya dengan elektron, tetapi bermuatan listrik positif. Mereka lalu berkesimpulan partikel berkas ini adalah positron, yang adalah partikel "anti-elektron" yang diramalkan fisikawan teori Inggris, Paul Adrien Maurice Dirac, enam tahun sebelumnya, dengan menggunakan teori kuantum dan relativitas Einstein.  Yang menarik di sini adalah gejala berikut. Apabila sumber partikel alfa diambil (lempengan aluminiumnya tak lagi ditembaki) ternyata neutronnya lenyap sesuai dengan yang diperkirakan. Yang aneh adalah pancaran positronnya tetap saja berlangsung, tetapi dengan laju pancaran yang makin turun: berkurang dengan faktor 2 setiap 2,5 menit. Semula tidak diketahui bahwa terdapat unsur radioaktif lain yang memiliki usia-paruh seperti ini: 2,5 menit. Lagi pula, gejala baru ini sangat berbeda dari keradioaktifan alami yang lazim karena begitu pelat aluminiumnya ditembaki kembali dengan partikel alfa, pemancaran positron kembali berlangsung. Hasil eksperimen ini memberi kesan tumbukan partikel alfa membentuk suatu unsur radioaktif baru dalam alumunium, dengan usia paruh 2,5 menit, yang peluruhannya diikuti dengan pancaran positron.

Dari hasil analisis yang lebih saksama disimpulkan, inti atom alumunium setelah menangkap partikel alfa akan menendang keluar sebuah proton dan bertransmutasi menjadi inti isotop fosfor. Karena isotop fosfor ini tak stabil, ia langsung meluruh dengan memancarkan sebuah positron, yang terjadi apabila sebuah proton berubah menjadi neutron. Dengan demikian, isotop fosfor tak stabil tadi bertransmutasi menjadi inti baru yang nomor atomnya berkurang satu karena ia kehilangan satu muatan positif. Ini adalah inti atom silikon.
Hasil ini memperlihatkan pasangan suami istri, Joliot-Curie, telah berhasil mentransmutasi inti atom buatan yang bersifat radioaktif! Temuan mereka ini dipandang sebagai suatu terobosan penting dalam perkembangan ilmu kimia sehingga panitia Nobel terdorong menganugerahi hadiah Nobel kimia, tahun 1935, kepada mereka.
Momentum momentum selanjutnya yaitu
7 Desember 1946
Kedokteran Nuklir mendapat pengakuan lebih luas ketika sebuah artikel yang ditulis oleh Sam Seidin diterbitkan dalam Journal of American Medical Association. Dalam artikel tersebut diuraikan kesuksesan penggunaan radioiod (I-131) terhadap pasien dengan metastasis kanker tiroid
Awal 1950-an
 Kedokteran Nuklir dimulai pada awal 1950-an, sehingga pengetahuan tentang radionuklida , deteksi radioaktivitas, dan penggunaan radionuklida tertentu untuk melacak proses-proses biokimia semakin diperluas dan diperdalam oleh para ahli.

Pada tahun 1970-an
sebagian besar organ tubuh dapat divisualisasikan menggunakan metode Kedokteran Nuklir. Pada tahun 1971, American Medical Association resmi mengakui kedokteran nuklir sebagai spesialisasi medis, dan pada 1980-an, radiofarmasi dirancang untuk digunakan dalam diagnosis penyakit jantung. Teknik pencitraan tomografi telah dikembangkan lebih lanjut di Washington University School of Medicine.


Penggunaan Nuklir Untuk Medis Hari Ini
Selama 50 tahun terakhir, kamajuan teknologi dan dan penelitian telah menghasilkan banyak aplikasi aplikasi di bidang kedokteran nuklir. Macam aplikasi ini telah membuktikan hasil nyata dalam pengaplikasiannya yaitu dengan menurunnya angka kematian pada pasien penyakit dalam khususnya kanker
Laporan ini dikemukakan oleh US National Cancer Institute yang merupakan bagian dari US Centers for Disease Control and Prevention, The American Cancer Society dan The North American Association of Central Cancer Registries.  Disebutkan dalam laporan tersebut, diagnosa baru untuk semua jenis kanker mengalami penurunan rata-rata hampir 1 persen per tahun sejak 1999 hingga 2006. Sementara kematian penduduk yang terkait dengan kanker menurun sekitar 1,6 persen per tahun dari tahun 2001 sampai 2006. Evaluasi tahunan soal ini sendiri biasanya rutin dirilis setiap Desember. Para ahli memperkirakan, angka kematian akibat kanker yang terus merosot dikarenakan berbagai penelitian oleh para ilmuwan telah berhasil membuka selubung misteri tentang bagaimana sebuah sel kanker menyerang dan berkembang dalam tubuh manusia.
Prosedur kedokteran nuklir sekarang secara rutin digunakan untuk  mendiagnosa dan memantau penyakit dan menawarkan pendekatan yang efektif untuk memberikan perawatan yang tepat untuk beberapa kanker dan gangguan endokrin. Saat ini aplikasi klinis kedokteran nuklir mencakup :
a.      
            Mendiagnosa penyakit seperti kanker, neurologis gangguan (misalnya, Alzheimer dan penyakit Parkinson), dan kardiovaskular penyakit pada tahap awal mereka melalui penggunaan perangkat pencitraan termasuk PET / CT (positron emission tomography / computed tomography) dan SPECT / CT (emisi photon tunggal dihitung
tomography / computed tomography);
b.      Memberikan pengobatan molekuler kepada target kanker, dan beberapa gangguan endokrin (termasuk tiroid penyakit dan tumor neuroendokrin);
            Menilai respon pasien terhadap terapi, mengurangi paparan pasien terhadap toksisitas efektif perawatan, dan pengobatan alternatif yang memungkinkan
harus dimulai lebih awal.


c.        Menentukan kandungan mineral tubuh dengan teknik pengaktifan neutron terutama untuk unsur-unsur yang terdapat dalam tubuh dengan jumlah yang sangat kecil (Co, Cr, F, Fe, Mn, Se, Si, V, Zn, dsb) sehingga sulit ditentukan dengan metoda konvensional. Kelebihan teknik ini terletak pada siftanya yang tidak merusak dan kepekaannya yang sangat tinggi. Disini contoh bahan biologik yang akan diperiksa ditembaki dengan neutron
d.      Mengukur kerapatan tulang  dengan cara menyinari tulang dengan
radiasi gamma atau sinar-X. Berdasarkan banyaknya radiasi gamma atau sinar-X yang diserap oleh tulang yang diperiksa maka dapat ditentukan konsentrasi mineral kalsium dalam tulang. Perhitungan dilakukan oleh komputer yang dipasang pada alat kekeroposan tulang (osteoporosis) yang sering menyerang wanita pada usia menupause (mati haid) sehingga menyebabkan tulang mudah

Tantangan Memajukan Kedokteran Nuklir Sekarang
            Ada beberapa tantangan khusus dalam memajukan kedokteran nuklir, termasuk hilangnya dukungan pemerintah, kekurangan ilmuwan terlatih, pasokan tidak memadai
radionuklida yang tersedia untuk penelitian, tidak praktisnya peraturan, dan tantangan yang berkaitan dengan pengembangan teknologi dan transfer.

·         Kehilangan Dukungan Pemerintah
Penelitian kedokteran nuklir saat ini tidak cukup didukung, terutama dalam ilmu fisika. Pendanaan untuk penelitian nuklir telah secara dramatis berkurang dalam beberapa tahun terakhir. Saat ini tidak ada program khusus komitmen jangka panjang oleh pemerintah untuk menjaga teknologi tinggi dan infrastruktur yang ada
·         Kekurangan terlatih ilmuwan Kedokteran Nuklir
Adanya kekurangan tenaga medis di semua disiplin ilmu kedokteran nuklir.
Pelatihan, terutama ahli kimia radiofarmaka, tidak terus dilanjutkan di universitas,
lembaga medis, dan industri.
·         Pasokan Bahan Medis Yang kurang Memadai
Tidak adanya sumber domestik radionuklida untuk peneltian menghambat para peneliti untuk mengembangkan aplikasi aplikasi baru dalam kedokteran nuklir. Kurangnya domestik berdampak pada tidak adanya pengembangan dan inovasi terbaru.

·         Rumit Peraturan Persyaratan
persyaratan peraturan yang terlalu rumit menghambat efisiensi . Peraturan
persyaratan, dikombinasikan dengan kurangnya pedoman tentang  manufaktur perangkat pencitraan nuklir dan radiofarmasi,membuat menerjemahkan hasil penelitian ke dalam aplikasi praktis menjadi sangat sulit .
·         Kebutuhan untuk Transfer Teknologi
Transfer teknologi dari penemuan laboratorium untuk klinik sangat penting untuk memajukan
kedokteran nuklir. Perbaikan dalam teknologi detektor, gambar
algoritma rekonstruksi, dan data tingkat lanjut
teknik pengolahan menurunkan biaya teknologi produksi radionuklida




2 komentar:

  1. wah bahasannya seruuuu.. keep posting yo :)
    semoga ke depannya pemerintah mau mendukung lebih buat perkembangan kedokteran nuklir di indonesia mengingat penyakit jantung dan kanker itu masuk penyakit yang mematikan. semakin cepet terdeteksi kan semakin bagus.
    terus gimana sama efek sampingnya?

    BalasHapus
  2. Yah saya setuju sekali kalau pemerintah perlu menggiatkan lagi perkembangan kedokteran nuklir di indonesia. Terlihat dari jumlah dokter ahli kedokteran nuklir di indonesia yang hanya 31 orang dan kurangnya minat untuk menekuni bidang ini di banding dengan bidang kedokteran umum merupakan indikator lesunya perkembangan kedokteran nuklir di indonesia. Padahal dalam penerapannya dapat men-treat penyakit mematikan nomer 1 di dunia

    Kekhawatiran akan efek samping dari penggunaan nuklir tidak perlu di khawatirkan lagi.Karena dalam penggunannya menggunakan dosss yang sesuai sehingga radiasi nya sangat rendah sehingga sangat aman. Batas aman di sesuai standart aman ALARA (As Low As Reasonably Achievable)prinsip

    BalasHapus